• Home
  • Current: Stories

Childfree: Budaya, Stigma, dan Pilihan

07 Oct 2021 | STORIES | 0 Comment
Title News

Photo by Alex Pasarelu on Unsplash

--

“Do I want kids? If my wife wants kids, we have kids. If my wife doesn’t want kids, then we don’t have to have kids. That’s what I think. Are you gonna be pregnant for nine months? No, right? How can you pressure your better half to suffer like that if she doesn’t want it?”

Cuplikan kalimat dari Chef Juna dalam talkshow YouTube bersama Deddy Cobuzier, yang sudah ditonton lebih dari delapan juta kali, telah tersebar di berbagai platform media sosial. Tentunya pernyataan dari juri ternama Master Chef Indonesia ini menuai beragam komentar. 

Perdebatan dalam memilih untuk tidak mempunyai anak juga pernah dimulai dari pemilik akun Instagram @Gitasav, Gita Savitri, yang mengemukakan pandangannya tentang hal tersebut. Ia dan pasangannya merupakan salah satu dari segelintir orang yang memilih pernikahan tanpa memiliki anak. Pilihan Chef Juna dan Gita Savitri ini dikenal dengan istilah childfree. 

Lalu, mengapa hal ini menjadi viral dan mengundang banyak kontroversi di kalangan masyarakat Indonesia? Untuk memahami situasi ini, ada beberapa hal seperti perbedaan budaya, stigma sosial, dan pertimbangan menjadikan childfree sebagai pilihan yang harus ditelaah terlebih dahulu. 

 

Budaya: Kolektivisme vs Individualisme

Salah satu penyebab isu ini menjadi perdebatan yang tidak ada akhirnya ini adalah perbedaan budaya. Baik Chef Juna maupun Gita mempunyai pengalaman tinggal di luar negeri dengan budaya barat. Chef Juna telah tinggal di Amerika sejak tahun 1997 untuk belajar dan bekerja. Sedangkan Gita meraih gelar sarjnananya di German. Kedua negara tersebut termasuk dalam dimensi budaya individualisme. 

Menurut Hofstede & Hofstede (2005), dimensi budaya dibagi menjadi dua, yaitu individualisme dan kolektivisme. Budaya individualisme adalah masyarakat yang ikatan antar individunya lebih longgar; Setiap orang diharapkan dapat mengurus atau mengatur dirinya sendiri dan keluarga dekatnya. Pada budaya ini, setiap orang meletakkan kepentingan pribadinya di atas kepentingan kelompoknya. Hak-hak mereka sebagai individu sangat dijunjung tinggi.

Sebaliknya, budaya kolektivisme adalah masyarakat yang dari lahir dan seterusnya terikat kuat dan kohesif dengan kelompoknya. Orang-orang dengan budaya ini biasanya lebih memprioritaskan kepentingan kelompoknya sebelum kepentingan pribadi. 

Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai budaya kolektivisme. Bagi masyarakat Indonesia, dimana kepentingan keluarga dan kelompoknya lebih penting yang terpenting dari pada kepentingan tujuan diri sendiri, maka Indonesia juga sangat dikenal dengan budaya kekeluargaannya. Sehingga, untuk mempertahankan garis keturunan kelompoknya, secara tidak langsung kelahiran bayi baru sangat dinanti dari wanita. Sedangkan, karena menjunjung tinggi individualisme, negara-negara yang menganut budaya ini membiarkan wanita untuk memilih untuk menjadi independen, termasuk dalam hal untuk tidak memiliki anak.

Setelah memahami perbedaan dimensi budaya ini, maka tidak heran jika konsep childfree ini menuai kontroversi di dunia maya. Baik Chef Juna maupun Gita merasa bahwa memiliki anak bukanlah kewajiban, sedangkan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki anak setelah menikah adalah suatu keharusan.

 

Stigma Masyarakat

Ketidakwajaran ini masih belum bisa diterima sepenuhnya oleh mayoritas masyarakat di Indonesia. Para perempuan yang konsisten untuk childfree sering mendapatkan pertanyaan yang sensitif seperti yang dialami Gita.

Pada akun Instagramnya, Gita menjawab berbagai pertanyaan yang dilontarkan netizen yang penasaran bagaimana Gita bisa bertahan dengan pernikahan tanpa anak. Salah satu pendapatnya yang sedikit menuai pro dan kontra adalah saat ada seorang followersnya bertanya cara dirinya menanggapi orang yang memberikan pernyataan kontra terhadap pilihannya. 

Gita menjawab, “Kalo kontra yang waras mah biasa aja. Kalo gak waras, yang udah nagging-guilt-trip bawa-bawa agama, yang udah ‘alah sok idealis masak sih ga mau’, ya gw tambah menikmati hidup dong! Ibu-ibu julid kayak gitu bakalan makin dengki kalau liat orang yang gak punya anak terus hepi. Karena dia sebenarnya lelah, letih, lesu, dan tersiksa gitu mesti ngurus anaknya, tapi gak mau ngaku, makanya dengki. Kalo dianya happy dan content dengan pilihan hidup dia, yaitu beranak, gak akan ganggu orang yang gak mau beranak.”

Ini bukan kali pertama Gita membahas terkait keputusannya untuk tidak mempunyai anak. Tahun 2020 Ia pernah membahasnya dan pernah menulisnya pada laman blog pribadinya, Gitasav.com. Namun tetap, perdebatan terhadap hal ini tidak ada ujungnya, malah mengundang banyak orang terutama aktivis perempuan untuk mengedukasi lebih tentang childfree. Harapannya dengan mengedukasi masyarakat, stigma masyarakat dapat sedikit lebih terbuka terhadap konsep childfree.

 

Sebuah Pilihan

Dalam kamus Cambridge, childfree diartikan sebagai kata yang digunakan untuk merujuk pada orang memilih untuk tidak mempunyai anak atau tempat dan situasi tanpa anak-anak. Setiap pasangan baru menikah terutama perempuan mempunyai hak untuk memiliki tidaknya anak karena berbagai faktor pertimbangan dan alasan. 

Pertama, memiliki anak harus mempertimbangkan kesiapan mental dari calon orang tua. Tidak bisa dipungkiri akan ada perubahan gaya hidup yang akan dirasakan ketika memiliki anak. Waktu yang biasa digunakan untuk mengurus diri sendiri nantinya sebagian besar akan digunakan untuk merawat anak. Selain itu, menurut Kristi Angevine, MD, ahli obstetri dan ginekologi di Chattanooga, Tennessee, setiap perempuan tidak pernah tahu proses kehamilan yang akan dialaminya, sehingga perempuan harus siap menghadapi hal-hal tak terduga.

Mengandung dan melahirkan juga bukan hal yang mudah dilakukan, bahkan mengutip dari Pregnancy Birth & Baby, layanan nasional pemerintah Australia yang memberikan dukungan kepada perempuan hamil dan orang tua, persiapan kehamilan tidak bisa dilakukan sembarangan.. Selama sembilan bulan perempuan harus menjaga kesehatan dan kondisi fisiknya agar sang anak bisa terlahir dengan sehat dan terkhindar dari resiko kehamilan, termasuk resiko cacar lahir. 

Terakhir, pasangan juga harus siap secara keuangan yang matang untuk mempunyai anak. Menurut Ligwina Hananto, perencana keuangan, pada Kompas.com, kesadaran perencanaan keuangan untuk memiliki anak harus dilakukan sedini mungkin, bahkan lebih baik dibicarakan sebelum menikah. Mulai dari mengandung hingga merawat anak sampai besar, biaya yang di keluarkan cukup besar. Ketika mengandung, sang ibu harus kontrol ke rumah sakit beberapa kali. Setelah itu akan ada biaya melahirkan, dilanjutkan dengan biaya kebutuhan anak termasuk biaya sekolah, sampai ia bisa menghidupi dirinya sendiri. 

Bagi wanita yang memilih childfree, mereka menganggap memiliki anak itu harus disertai komitmen yang kuat dan tanggung jawab yang besar, termasuk dalam mempertimbangkan tiga faktor di atas. Mereka harus bertahun-tahun mendidik dan menjaga anak bagaimana pun kondisi sang anak. Memiliki anak itu tidak untuk semua wanita. Hal ini pernah diungkapkan Andrea Gunawan, influencer sekaligus aktivis perempuan yang lebih dikenal dengan Catwomanizer, pada Instagramnya.

“Having children is not for everyone. Not everyone has the capacity to be (a) parent, especially if their kid has special needs. Being a parent is a tough job and some of us just don’t want that kind of responsibility and it’s ok...,” tulis Catwomanizer.

Memiliki atau tidak memiliki anak adalah hak dan pilihan semua orang terutama perempuan yang harus mengalami proses lebih berat untuk mempunyai anak. Hanya perempuan yang bisa mengandung, melahirkan, dan menyusui anak. Perempuan yang memilih untuk childfree juga tidak berarti kodratnya bisa direndahkan.

Membebaskan perempuan memilih untuk childfree atau tidak bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk dari kesetaraan gender. Perempuan seharusnya bisa memilih apa yang terbaik untuk dirinya sendiri dan memperjuangkan independensi dan kebebasannya. Sama seperti laki-laki, perempuan juga memiliki hak atas pilihan hidupnya. 

Dengan masih adanya kontroversi dan perdebatan terkait childfree, kesetaraan gender masih belum sepenuhnya tercapai meski gerakan ini sudah ada berpuluh-puluh tahun, meski sudah banyak pencapaiannya. Misalnya saja kesempatan perempuan pada lapangan pekerjaan. Badan Pusat Statistik memaparkan penyerapan tenaga kerja perempuan di Indonesia meningkat per Mei 2021 dikarenakan jumlah tingkat pengangguran terbuka perempuan menurun hingga 1,50 persen.

Namun, untuk bisa membebaskan perempuan yang memutuskan untuk childfree dari stigma buruk, diperlukan edukasi yang meluas dan mendalam tentang hal ini. Diperlukan orang-orang seperti Chef Juna, Gita, dan Catwomanizer untuk memberikan pemahaman tentang childfree dan hak perempuan. 

--

Source:

Hofstede, G & Hofstede, G.,J.2005.Cultures & Organization: Software of Them Mind.New York: Mc Graw Hill Companies.Inc.

Comments
  • Christopher
    | 07 Oct 2021

    Very insightful & well-written. Nice article.

Leave your comment